Kamis, 07 Desember 2017

Kegilaan Paman Trump Bisa Picu Perang Dunia


DONALD Trump sudah gila. Aksinya sebagai Presiden Amerika Serikat, mengakui pencaplokan tanah suci Yerussalem oleh Israel Selasa (7/12) lalu mengundang kemarahan bangsa-bangsa di dunia. Tak mustahil, itu memantik perang dunia.

Wartawan Robert Fisk dari The Independent melukiskan dalam kolomnya, tindakan Trump itu sebagai aksi provokasi yang berasal dari kegilaan Trump.

”Sebenarnya, kita juga tak perlu kaget. Presiden edan memang selalu melakukan sesuatu yang juga edan,” ujar kolumnis senior itu.

Lontaran provokasi Trump soal Yerussalem memang bukan tiba-tiba. Januari 2017 lalu, Trump sudah melempar wacana memindahkan kantor kedutaan Amerika Serikat di Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem. Beberapa sebelumnya, secara terbuka Trump mengatakan dirinya mendukung 100% sebagai salah satu bentuk komitmen hubungan baik antara Washington dan Israel.

Kini hal itu benar-benar terwujud. Dan dunia pun mengecam. Republika mengabarkan, Direktur Advokasi Timur Tengah Amnesty Internasional AS, Raed Jarrar mengatakan, keputusan tersebut sebagai keputusan yang gegabah dan tindakan yang provokatif. Dimana ia menganggap, Trump mengesampingkan hak asasi manusia rakyat Palestina dan berkemungkinan akan menyebabkan ketegangan diseluruh wilayah tersebut.

Raed juga mengatakan, dengan diakuinya Yerusalem sebagai Ibukota Israel dan akan dipindahkannya kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, Trump kembali menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap hukum internasional.

"Ada konsensus internasional, termasuk resolusi Dewan Keamanan PBB, atas ilegalitas aneksasi Israel terhadap Yerusalem Timur. Dengan langkah ini, Amerika Serikat melanggar kewajiban hukum internasionalnya sendiri untuk tidak mengenali atau membantu situasi ilegal dan untuk menjamin penghormatan terhadap Konvensi Jenewa," kata Raed dalam keterangan resminya di situs Amnesty Internasional AS, Kamis (7/12)

Sekedar mengingat, setahun lalu, 23 Desember 2016, 14 Anggota PBB akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan sebuah resolusi baru kepada Israel berkaitan dengan pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat (west Bank), Palestina. Resolusi bernomor 2334 tersebut menegaskan bahwa pembangunan pemukiman tersebut tidak mempunyai dasar hukum yang valid dan juga berlawanan dengan ketentuan hukum Internasional. Disamping itu pembangunan pemukiman ilegal Yahudi hanya akan membuat rintangan semakin berat bagi pendirian dua negara yang bersisian di dalam batas-batas wilayah yang diakui dunia internasional.

Resolusi itu juga menegaskan perlu dihentikannya pembangunan pemukiman Yahudi Ilegal termasuk di wilayah Yerusalem Timur, dan PBB hanya mengakui batas-batas negara Israel sebelum tanggal 4 Juni 1967. Perdana Mentri Israel Benyamin Netanyahu berang terhadap keputusan dewan keamanan PBB atas dukungan resolusi tersebut. Dia menyebut bahwa Resolusi itu adalah kolusi dari negara-negara yang anti terhadap Israel. Resolusi itu bias dan bernada permusuhan terhadap satu-satunya negara Demokrasi-Sesungguhnya di Timur Tengah. Lebih lanjut Bibi, begitu panggilan akrabnya, mengancam akan memutuskan bantuan keuangan kepada PBB.

Resolusi 2334 ini, pada dasarnya merupakan resolusi yang terlambat dihadirkan. Karena selama ini Amerika dan sekutunya selalu selalu memveto hal yang berikaitan dengan Isu Israel-Palestina bila itu merugikan Israel. Dan Resolusi 2334 mengenai pembangunan pemukiman Yahudi di West Bank dan East Jerusalem, bukanlah yang pertama kali disulkan. Setidaknya sejak tahun 1997 saja, sudah ada 3 draft resolusi berkaitan dengan usaha untuk mengutuk dan menghentikan masalahpemukiman Israel di Tepi Barat. Amerika memveto draft resolusi bernomor S/1997/199 thun 1997, S/1997/241 (1997), dan S/2011/24 (2011) berkaitan dengan draft resolusi atas pemukiman ilegal.

Draft resolusi tahun 2011 yang diveto adalah draft yang diajukan oleh dewan kemanan PBB pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama di periode pertama. Sementara Resolusi yang baru-baru ini dikeluarkan di mana Amerika abstain, ada di bawah periode ke dua Presiden Obama.

Di dalam resolusi 2334 ini, PBB kembali mengkonfirmasikan bahwa pembangunan pemukiman bagi warga Yahudi Israel adalah bertentangan dengan Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 artikel 49 pada bagian Perlindungan Penduduk di Masa Perang. Konvensi Jenewa ini sendiri sudah diratifikasi oleh seluruh anggota PBB termasuk Israel dan Palestina di dalamnya. Disamping itu juga mengkonfirmasikan kembali bahwa resolusi PBB nomor 242 tahun 1967  yang selama ini tidak diindahkan oleh Israel harus dipatuhi.

Konvensi Jenewa ini salah satu bagiannya mengatur mengenai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang berkonflik. Dan apabila satu pihak menguasai suatu wilayah dari pihak lain, maka dilarang untuk memindahkan penduduk mereka ke wilayah daerah yang diduduki. Juga pihak yang menduduki tidak boleh memindahkan dengan paksa penduduk dari wilayah yang diduduki ke wilayah manapun, dan dengan alasan apapun. Namun apabila dirasa perlu untuk memindahkan karena alasan keamanan akibat perang yang berlangsung, maka penduduk tersebut harus mendapatkan haknya untuk kembali ke wilayah asal mereka.

Sementara Resolusi 242/1967 menegaskan kepada Israel untuk menarik kekuatan militernya di wilayah yang diduduki (Tepi Barat dan East yerusalem). Kemudian menghentikan semua klaim atau bentuk-bentuk peperangan dengan menghormati dan mengakui kedaulatan, kesatuan wilayah dan kebebasan politik sebuah wilayah untuk hidup damai.

Jadi berkaca dari dua resolusi ini kita bisa memahami apa yang sesungguhnya dilakukan oleh Israel di wilayah Palestina tersebut.


SEJARAH KONFLIK DI YERUSSALEM

50 Tahun lalu, Resolusi PBB nomor 242 tahun 1967 yang menegaskan Israel harus hengkang dari Palestina. Akan tetapi dunia melihat sendiri bagaimana israel mengabaikan seruan dunia tersebut.
Pada tahun 1967 israel menyerang  berbagai wilayah yang berbatasan dengan mereka, yaitu Mesir, Syria dan Jordania. Serangan ini adalah sebagai sebuah respons atas ketegangan yang berlangsung di kawasan sejak hadirnya Israel di tanah Palestina sejak 1948. Karena menganggap sebagai sebuah ancaman, maka Israel setelah yakin dengan kekuatan angkatan bersenjata mereka yang  didukung Amerika dan Prancis, mengambil inisiatif penyerangan lebih dahulu.

Serangan pertama ditujukan kepada Mesir pada pagi hari sekitar jam 7.45. Sebanyak 183 pesawat jet tempur, menghabiskan 189 pesawat tempur Mesir dalam tiga jam pertama serangan. Hampir seluruhnya dilumpuhkan di darat, atau saat mereka diparkir. Dan secara keseluruhan dalam hari pertama itu, 298 pesawat jet tempur Mesir lumpuh. Mesir tidak berdaya dalam serangan mendadak tersebut. Pasukan darat mereka lumpuh karena angkatan udara mereka tidak berdaya melindungi lagi.

Pada pukul 9.45, giliran negara kecil Jordania dilumpuhkan dengan mudah. Sementara Syria yang hingga tanggal 8 Juni, tidak berpartisipasi dalam perang juga disapu oleh Israel secara mendadak. Israel masuk jauh ke dataran tinggi golan. Konsentrasi Israel terhadap Syria bisa lebih besar, karena Mesir dan Jordania sudah dilumpuhkan lebih dahulu, sehingga alokasi kekuatan tempur mereka lebih besar kepada Syria. Hampir seluruh pesawat tempur Israel dalam penyerangan ke Mesir, juga berpartisipasi dalam menyerang Syria.

Sebagai hasil dari serangan mendadak tersebut Mesir, Jordania dan Syria dapat dilumpuhkan hanya dalam total waktu enam hari. Dan kemenagan ini menghasilkan wilayah yang lebih luas dalam kekuasaan Israel. Dari Mesir, Israel menguasi Sinai yang luasnya dua kali lebih besar dari negara Israel dan Palestina sendiri, membentang sepanjang garis pantai terusan suez. Sementara Syria, kehilangan dataran tinggi Golan. Adapun Jordania kehilangan wilayah administrasi mereka di Palestina, yaitu Tepi Barat dan Kota Tua Yerusalem Timur.

Tetapi setelah sepeninggal Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, penggantinya Anwar Sadat melakukan perjanjian damai dengan Israel di bawah Menechem Begin pada tahu 1978. Sebagai kompensasi dari perjanjian yang dibrokei oleh Presiden AS Jimmy Carter, Mesir bisa mendapatkan kembali Sinai.

Sementara Israel tetap menggenggam wilayah Dataran Tinggi Golan, Jalur gaza (hingga 2006), Tepi Barat dan Kota Tua Yerusalem Timur. Selain menguasai wilayah tersebut, Israel juga  juga melakukan pengusiran terencana dan sistematis, khususnya di wilayah Tepi Barat. Dalam hari-hari pertama menguasai Kota Tua Yerusalem, mereka langsung menghancurkan bagunan-bangunan bersejarah yang sudah berusia lebih seribu tahun yang berada di sekeliling Masjidil  Aqsha. Bangunan ini memang sudah diincar sejak masa-masa imigrasi kaum Yahudi Eropa ke Palestina di awal abad 2ke-20, karena dianggap menghalangi ruang mereka untuk beribadah di tembok ratapan.

Selanjutnya mereka juga membangun pemukiman-pemukiman bagi para pendatang Yahudi baik dari wilayah Israel sendiri maupun mereka dari berbagai manca negara. Hukum Israel memang memberikan jaminan bagi semua kaum Yahudi di dunia untuk menjadi warga negara Israel dan berhak untuk tinggal di dalam wilayah negara mereka. Ini adalah salah satu instrumen politik demographi mereka untuk memperkuat pertahanan wilayah. Sebagaimana diketahui bawah pada tahun 1948, ketika mereka mendirikan negara Israel, jumlah mereka sekitar 300 ribu sampai 400 ribu orang. Dan kini sudah mencapai 6 juta orang dengan sebagian besar adalah imigran.

Salah satu strategi dalam penyebaran penduduk dan mengakomodasi para imigran dari manca negara itu adalah dengan membangun pemukiman di wilayah tepi barat dan Kota Tua Yerusalem setelah mereka rebut dalam perang 1967. Mereka menduduki tanah-tanah milik pelastina yang terusir. Bahkan mereka melakukan penghancuran atas pemukiman-pemukiman penduduk palestina dengan dalih wilayah zona militer.

Mereka juga menerapkan hukum “Meratakan Rumah” bagi setiap warga Palestina yang dituduh telah melakukan perlawanan bersenjata, atau tindakan teroris dalam definisi mereka terhadap siapapun warga Israel. Mereka juga menerapkan demolishing house bila warga Palestina kedapatan membangun rumah atau memodifikasi rumah tanpa ijin dari pemerintah Israel, khususnya di kawasan Kota Tua Yerusalem Timur. Sementara ijin itu sendiri teramat sulit didapatkan. Dan itu tidak akan terjadi bila warga Yahudi Israel yang melakukannya. Karena itulah wilayah pemukiman Yahudi Israel berkembang dengan cepat hingga mencapai 200 ribu unit di wilayah Kota Tua Yerusalem.

Pelanggaran tersebut kini sudah berlangsung hampir lima puluh tahun lamanya. Israel tetap membangun pemukiman dan menempatkan warga mereka di dalam wilayah pendudukan, Kota Tua Yerusalem dan Tepi Barat. Jumlah mereka makin hari semakin bertambah. Tercatat kini sudah mencapai 500 ribu lebih penduduk yang mendiami puluhan pemukiman baru. Hukum internasional dikangkangi oleh Israel, bahkan Amerika terus menjadi pembela mereka. Sebuah sikap yang buruk dari sebuah negara yang mengklaim negara yang menghormati hak asai manusia dan demokrasi. Namun kenyataannya, dari tahun 1972 saja sudah melakukan veto sebanyak 42 kali atas draft resolusi yang dirancang dewan keamanan PBB untuk Israel.

Bahkan sebaliknya Israel makin mengukuhkan wilayah pendudukan tersebut sebagai bagian utuh Israel dengan mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Tentu saja ini ditolak oleh dunia dan bahkan PBB dengan resolusinya itu. (dari berbagai sumber)

0 comments: